YANG MAHA LUAS DAN MAHA BESAR

YANG MAHA LUAS DAN MAHA BESAR


Ishmael Yahalah

Bukan tentang tuhan, bukan! Tapi sebuah pabrik yang begitu besar dan luas. Di dalamnya terdapat begitu banyak orang yang bekerja. Dan bekerja adalah satu-satunya cita-cita dalam kehidupan pekerjanya, melampaui hidup itu sendiri. Menyedihkan!

Hari belum terang dan embun belum juga menguap. Di sebuah rumah kompleks perumahan sederhana pinggir timur Kota Tetnate, sebuah aktifitas yang tiap harinya sama persis, kembali diulangi.

Edo, 33 tahun, karyawan sebuah perusahaan swasta terkemuka di Maluku Utara, telah bersiap berangkat kerja.
Ia bangun sejam sebelumnya, shalat subuh dan menonton berita pagi di televisi sambil menikmati kopi susu buatan sang istri. Toety, 30 tahun, bangun lebih pagi lagi karena mesti mempersiapkan sarapan dan kebutuhan suami.

Hari ini seragam Edo mesti disetrika, “Biar rapi dan tidak dimarahi bos”, begitu katanya.

Setelah Edo berangkat, Toety juga mesti mengurus Arul, 7 tahun, yang mesti ke sekolah. Anaknya yang baru kelas dua SD itu mesti sarapan, dimandikan, dan diantar ke sekolah.

Rutinitas itu diulang tiap hari. Edo tiba di rumah hampir pukul 6 petang. Seharian kerja telah membuatnya penat dan lelah. Menonton TV menjadi pilihan hiburan paling murah meriah. Jalan-jalan ke mal dan land mark biasanya dilakukan di akhir pekan, tapi tidak setiap pekan. Selepas semua itu, Edo yang lelah seharian bekerja harus istirahat agar keesokan hari terus bisa bekerja.

Keluarga Edo dan Toety adalah gambaran umum keluarga masa kini. Kehidupan harian yang keesokan harinya dipertahankan untuk terus bekerja agar dapat bertahan hidup.

Siapakah kelas pekerja hari ini?

Terutama kalangan Kiri tradisional, pandangan umum tentang kelas pekerja adalah para buruh industrial, atau kerah biru yang bekerja di pabrik. Kadang pula memasukkan pekerja non-industrial seperti perawat dan kerah putih.

Jika memakai perspektif tersebut berarti hanya Edo yang berkontribusi pada proses produksi. Statusnya sebagai pekerja upahan jelas berbeda dengan Toeti yang tidak memiliki majikan, apalagi anaknya yang belia.

Edo bekerja dan menghasilkan nilai-lebih, sementara Toeti sama sekali tidak menghasilkan kapital, pula tidak berada dalam hubungan produksi.

Definisi tersebut jelas gagap ketika diperhadapkan pada perkembangan kapitalisme yang semakin canggih dan tidak lagi hanya beroperasi di pabrik maupun tempat kerja. Definisi tersebut menjebak pada pembagian kelas antara yang ‘tereksploitasi’ dan kelompok yang ‘tertindas’. Sang suami yang tereksploitasi, sementara si istri ‘sekedar’ tertindas. Saat sepasang suami-istri berada dalam himpitan hidup yang sama, penindas yang sama, dan kemonotonan hidup yang sama, berkat definisi yang ortodoks mereka dipisahkan berdasarkan kepentingan ekonomis.

Pabrik Sosial dan Sosialisasi Pekerja
Mario Tronti memberikan catatan awal bagaimana kapitalisme bertranformasi, bahwa “hal paling maju dari kapitalis adalah bahwa produksi nilai-lebih (surplus value) berlangsung dimana-mana, melampaui sirkuit ‘produksi-distribusi-pertukaran-konsumsi’ yang terus berkembang; ini juga berarti hubungan antara produksi kapitalis dengan masyarakat borjuis, antara pabrik dengan masyarakat, antara masyarakat dengan negara, semakin melebur. Puncak perkembangan kapitalis adalah saat hubungan sosial menjadi hubungan produksi, dimana keseluruhan masyarakat menjadi perwujudan proses produksi.

Singkat kata, keseluruhan kehidupan sosial tidak lain berfungsi sebagai pabrik, dimana pabrik memperluas dominasi kapital atas keseluruhan masyarakat”.

Jika kapitalisme lampau diidentikkan dengan pabrik karena saat itu hanya pabriklah satu-satunya tempat kapitalis mengakumulasi kapital. Di pabrik atau pun kantor, majikan berkuasa penuh terhadap kehidupan pekerja. Menerapkan aturan, mendisplinkan, memperkerjakan dan memecat, serta mengambil keputusan tentang proses produksi bahkan ke seluruh kehidupan para pekerja. Setelah bel pulang dan melewati gerbang pabrik, kehidupan pekerja tidak lagi tersentuh dengan kekuasaan majikannya meski tidak sepenuhnya bebas karena harus menjalani kehidupan dalam hirarki dan dominasi dalam bentuk lain.

Pekerja hari ini adalah mereka yang berpartisipasi dalam reproduksi kapital. Tidak lagi dibatasi oleh dinding pabrik atau kantor, karena proses penciptaan kapital-kapital baru telah melebar ke kehidupan sosial, tidak lagi sekedar di tempat kerja. Pekerja juga disosialisasikan pada level sosial. Masyarakat menjadi pekerja bukan (saja) oleh rekrutmen formalmelamar, mengisi lowongan kerja, dst, tetapi melalui konversi kehidupan sosial menjadi sebuah pabrik.

Kehidupan Sebagai Kerja

Apa yang menjadi ciri khusus dalam Pabrik Sosial adalah keseluruhan kehidupan individu maupun sosial bermakna sebagai kerja, yaitu kerja untuk menciptakan kapital baru. Hampir tak satu pun aspek dalam hidup yang bukan merupakan kontribusi untuk penciptaan kapital baru. Kehidupan diposisikan berada di bawah kerja. Ini membuat sebagian besar waktu kita untuk ‘bekerja’. Apa yang kita kenal sebagai kegiatan pasca-kerja, justru merupakan aktifitas kerja yang pasif. Aktifitas lain selain kerja direduksi menjadi hanya sekedar rekreasi (pemulihan). Perhatikan bagaimana ‘waktu kerja’ dan ‘waktu luang’ adalah hal yang tidak berbeda, sama-sama menciptakan kapital baru melalui produksi dan konsumsi.
Dalam kehidupan sosial, rekreasi, kesehatan dan kesejahteraan, hingga pendidikan tidak lain sebagai hal yang dirancang untuk menunjang keuntungan kapital. Instrumen tersebut berfungsi untuk merawat kondisi sosial agar tetap tegak dan normal, demi vitalitas dan maksimalisasi kerja para pekerjanya.

Domestikasi Kerja dan Manufakturisasi Sektor Domestik

Kapital tidak perlu memerlukan tembok dan dinding raksasa di level sosial untuk membangun pabrik fisikal. Dalam rangka penciptaan tenaga kerja baru misalnya, keseluruhan rangkaian produksi cukup diintergrasikan dalam kehidupan domestik/rumah tangga. Dalam kehidupan domestik, tersedia tenaga kerja murah (bahkan gratis) dengan model pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah.

Khususnya kaum perempuan, mereka bisa mengerjakan berbagai peran misalnya melahirkan generasi baru pekerja masa depan, membesarkan, mencukupi kebutuhan hidupnya, melayani suami (baca: pekerja) agar dapat kembali bekerja keesokan harinya. Mereka juga mesti mengatur keuangan keluarga agar tidak terjadi inflasi. Kesemua pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan tersebut tidak diupah, dan bertindak sebagai tenaga tak diupah bagi kapital.

Kehidupan domestik (keluarga inti) adalah landasan pembentuk nilai masyarakat kapitalis, disemaikannya pemberhalaan kerja sebagai satu-satunya narasi yang layak.

Komposisi Pekerja Sosial

Dalam Pabrik Sosial, pekerja tidak lagi dibedakan atas diupah atau tidaknya mereka, produktif atau tidak produktifnya. Ibu rumah tangga dan seluruh kerja-kerja domestiknya, yang dulunya tidak menjadi bagian proses produksi (oleh karenanya tidak diupah) adalah kelompok yang berkontribusi erat dalam reproduksi tenaga kerja. Kehidupan domestik bukan lagi tidak ada hubungannya dengan produksi, malahan berperan penting dalam penciptaan tenaga kerja dan kapital baru.

Ke-tidak produktif-an kelompok pengangguran misalnya, bukan berarti tidak berkontribusi dalam penciptaan kapital-kapital baru. Dalam lansekap Pabrik Sosial, pengangguran misalnya, dapat menjadi instrumen oleh kapitalis untuk menciptakan nilai dan kondisi ekonomi dalam rangka memaksimalkan keuntungan maksimum yang bisa diraih pada level sosial. Hitung-hitungan ekonomi, inflasi, daya beli, persaingan kerja dan himpitan hidup telah mengaburkan perang yang sesungguhnya.

Bahkan mahasiswa/pelajar, masyarakat adat, petani subsisten, kaum minoritas, penyandang cacat, para jompo dan pensiunan memiliki fungsi masing-masing sebagai mesin dalam penciptaan kapital-kapital baru.

Inilah ‘pabrik tanpa dinding’ yang maha luas dan maha besar itu. Para proletariat, sebagaimana jutaan Edo dan Toeti, terus bekerja karena hanya itu pilihan yang disodorkan. Pilihan-pilihan untuk ‘kehidupan lebih baik’ sepanjang tetap memproyeksikan para proletariat takluk pada nasibnya, tidaklah lebih baik dari parodi perubahan.

Dalam Pabrik Sosial, berganti pemerintah, berganti partai politik penguasa, berganti presiden sepanjang tidak menghalangi kapital terus menggelembung tidak layak disebut alternatif. Satu-satunya jalan realistis yang tersisa bagi proletariat yang ingin bebas, adalah menghancurkan pabrik ini!

“…karena tujuan dari setiap proletar adalah untuk tidak lagi menjadi proletar…”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Coconut Revolution

Kenapa Aku Bukan Kapitalis dan Bukan Marxis. Revolusi dan Indian Amerika

OKA CRISIS, 1990 I 270 YEARS RESISTANCE