Coconut Revolution
Revolusi
Kelapa Bougainville
(“Bougainville Coconut
Revolution”)
Profesor Walter Kuentzel
Eksploitasi Tembaga
Documentary Heaven.com |
Lima ratus lima puluh hekar hutan yang dulunya berfungsi
sebagai tempat berburu dan berladang bagi penduduk di daerah itu dibuka untuk
pertambangan oleh Bougainville Copper Limited (HCL), anak perusahaan dari RTZ
di Australia.
Sementara itu, penduduknya dipindahkan ke pemukiman darurat
atau “kota kumuh”, tetapi tidak ada dukungan keuangan yang diberikan oleh
pemerintah PNG atau oleh RTZ untuk membantu membangun sekolah dan menunjang
sarana produktif. Pada tahun 1967, Korporasi BCL mulai menambang tembaga secara
terbuka yang terbesar di bumi — hampir lima ratus meter dan meliputi sekira
tujuh kilometer persegi — di jantung subur Bougainville (The Coconut
Revolution, 1999).
Sebelum ditutup pada tahun 1989, tambang tersebut
menghasilkan tiga juta ton tembaga, tujuh ratus delapan puluh empat ton perak,
dan tiga ratus enam ton emas, terhitung sekitar empat puluh empat persen dari
produk domestik bruto PNG ("Panguna-Bougainville", 2013).
Tembaga, perak, dan emas semuanya "logam mata
uang," yang digunakan untuk membuat koin moneter. Logam ini juga digunakan
untuk menghasilkan kemewahan dunia pertama seperti komputer, ponsel, dan
perhiasan. Selain itu, tembaga digunakan untuk pipa dan konduktor listrik,
perak digunakan untuk perkakas makan dan dalam fotografi non-digital, sementara
emas digunakan dalam mikroelektronika dan untuk pekerjaan gigi (Calvert, 2002).
Segera setelah eksploitasi, pertambangan tersebut terbukti mencemari,
dan sekitar satu miliar ton limbah industri termasuk tembaga, merkuri, arsen,
dan timah diendapkan ke Sungai Jaba, membunuh satwa liar dan mengubah seluruh
hutan menjadi “moonscape” yang berdebu atau terasingkan.
Jalur sungai hampir dihancurkan oleh polusi ranjau; sampai
hari ini, tidak ada ikan yang ditemukan hidup di perairan, tidak bisa diminum
dan tidak aman untuk dikonsumsi. Ketika penduduk setempat memprotes penggalian,
tanah mereka dicaplok dengan paksa. Dari tiga miliar dolar AS dalam laba yang
dibuat korporasi ekstraksi tersebut, hanya sekira 3 juta dolar USA diberikan
kembali kepada orang-orang Bougainville (The Coconut Revolution, 1999).
Pada tahun 1988, Young Land Owners Association (YLO) yang
dipimpin oleh Francis Ona menuntut penutupan Tambang, serta ganti kerugian
sebesar sepuluh miliar dolar atas dampak pencemaran dan kerusakan ekosistem.
Tak lama setelah itu, Ona memasuki area pertambangan itu di malam hari dan
mencuri lima puluh kilo bahan peledak tinggi. Dia dan teman-teman
pemberontaknya menutup tambang itu sendiri melalui aksi-aksi sabotase.
Karena panik kehilangan hampir separuh pendapatan ekspor
mereka, Pemerintah Papua New Guinea (RNG) mengerahkan polisi anti huru-hara,
yang kemudian menyerbu Bougainville, membakar rumah-rumah, memukul, memperkosa,
dan membunuh warga sipil.
Tindakan represif aparat kepolisian itu hanya memperkuat
perlawanan, karena hal itu membuat marah masyarakat setempat dan pada akhirnya
banyak orang yang bergabung menjadi pasukan insurgensi yang dikoordinir Francis
Ona. (The Coconut Revolution, 1999).
Sekarang setelah Bougainvillians
menutup tambang itu sendiri dan Kooporasi RTZ telah angkat kaki, Angkatan
Bersenjata Revolusioner Bougainville (BVA) pun diorganisir, dan hal itu meningkatkan
eskalasi konflik, sebuah tuntutan politik digaungkan, kemerdekaan dari Papua
Nugini. Polisi anti huru hara tidak bisa menangani aksi-aksi insurjensi,
sehingga Angkatan Darat PNG, Pasukan Pertahanan Papua Nugini (PNGDF), dikirim.
Pertambangan Rio Tinto di Pulau Bougainville terlibat langsung dalam pengerahan militer. |
Pengerahan Militer dan Blokade
PNGDF memblokade pulau itu dan mengantongi perintah untuk
tembak-bunuh, sehingga Bougainville benar-benar terputus dari akses sumber daya
di luar seperti bensin, solar, produk makanan, obat-obatan, dan persenjataan.
Australia, sebagai mantan negara penjajahnya, menyediakan
bantuan alusista kepada PNG seperti helikopter yang segera berubah menjadi
kapal perang dan melatih sebagian populasi Bougainville yang tidak bersenjata
(The Coconut Revolution, 1999).
Tentara militer PNGDF kemudian mendesak banyak penduduk
Bougainville ke pedalaman hutan, di mana banyak orang mulai mati karena hal-hal
seperti persalinan yang tidak tertanganu, penyakit malaria, pneumonia, dan
tetanus, serta penyakit dari asbes tambang. Pejuang Bougainville, terputus dari
semua akses perdagangan, namun mereka kemudian melakukan serangkaian inovasi,
menggunakan teknik pengobatan kuno nenek moyangnya dari tumbuh-tumbuhan yang
ditemukan tumbuh tersebar di pulau itu.
Markas komandan Francis Ona digandakan fungsinya sebagai tempat
pengobatan darurat, baik prajurit insurjensi dan warga sipil akan ke sana untuk
mendapat bantuan medis jika mengalami cedera serius. Lebih dari 15.000 penduduk
Bougainville (sekira seper sepuluh dari populasi pulau) meninggal selama
konflik, yang mungkin paling berdarah dalam sejarah kawasan Pasifik sejak
Perang Dunia II (The Coconut Revolution, 1999).
BVA juga harus kreatif. Mereka menyelamatkan sisa bahan dan
suku cadang mesin dari tambang yang ditinggalkan untuk membuat senjata rakitan
sendiri. Mereka benar-benar berperang melawan serdadu PNGDF yang dilengkapi
persenjataan canggih, hanya dengan tongkat, pelontar batu, katapel, busur dan
panah beracun yang dibuat sendiri.
Konstruksi persenjataan juga membantu meningkatkan
kepercayaan akan kekuatan. BVA akhirnya mendapatkan dua hingga tiga ratus pucuk
senjata modern yang ditinggalkan personil PNGDF saat dikalahkan dibanyak
pertempuran.
Taktik lain yang digunakan para gerilyawan adalah
menciptakan jebakan-jebakan yang melibatkan penanaman rempah-rempah pulau di
atas jalur area musuh bergerak. Ketika serdadu PNGDF melintasi tanaman-tanaman
khusus ini, maka mereka akan mengalami reaksi alergi yang jauh lebih buruk
daripada disebabkan oleh racun ivy, karena testis dan penis mereka akan menjadi
bengkak dan menyakitkan. (The Coconut Revolution, 1999).
“Belanja” di Bougainville pada masa konflik ini berarti
membawa kembali apa pun yang Anda bisa dari operasi yang sukses, senjata dan
obat-obatan hingga bola bola mainan untuk anak-anak. Selain juga menyelamatkan
bahan-bahan dari alat-alat pertambangan yang ditinggalkan termasuk switchbox,
pipa, dan bagian yang dapat digunakan kembali untuk perbaikan infrastruktur
pulau yang runtuh.
Orang-orang "primitif" bahkan membuat generator
pembangkit listrik tenaga air gravitasi yang dikonstruksi dari sampah besi tua,
pipa, dan suku cadang yang diambil dari mobil-mobil tua. Sekarang terdapat lima
puluh dan enam puluh hydros kecil
yang menerangi sebagian pulau yang dapat menunjang kekuatan, penjagaan,
pengawasan pulau, selama dua puluh empat jam sehari. (The Coconut Revolution,
1999).
Inovasi Pengolahan Kelapa
Prajurit Bougainville memantau lokasi pertambangan dari atas bukit. |
Penduduk Bougainville menggunakan setiap bagian kelapa, yang
tumbuh subur di daerah itu. Sudah lama diketahui bahwa pohon kelapa menyediakan
makanan dan tempat berlindung, tetapi banyak lagi kegunaan yang ditemukan sebagai
akibat blokade.
Kulit atau sabut kelapa muda bisa diperas untuk mengobati
sariawan. Bisa dibakar untuk mengusir nyamuk pembawa malaria. Daunnya bisa
digunakan untuk menenun keranjang. Dan diolah juga untuk menghasilkan minyak
yang digunakan sebagai bahan bakar untuk lampu, memasak, dan membuat sabun.
Halus, grade Minyak kelapa bisa digunakan untuk membersihkan senjata. Yang
paling mengesankan dari penemuan mereka, melalui proses yang melibatkan
pengikisan, pemerasan, fermentasi, dan memasak, buah kelapa dapat diolah untuk
menghasilkan bahan bakar kendaraan. Itulah kenapa orang-orang Bougainville
dapat terus mengendarai mobil dan meninggalkan kendaraan ranjau meskipun
kekurangan bensin dan solar.
Dari lima belas buah kelapa, bisa menghasilkan satu liter
bahan bakar. Bahan bakar dari olahan kelapa juga lebih sedikit polusi karbon
daripada solar, dan menghemat dua kali jarak tempuh (The Coconut Revolution, 1999).
Pada 1996, Tentara Revolusioner Bougainville (BVA) memenangkan
perang, dan menguasai sekitar delapan puluh persen wilayah kepulauan. Perhatikan
bahwa tidak ada negara lain yang datang untuk membantu mereka melawan Pemerintah
Papua New Guinea (PNG) dan tentara Australia. Pada tahun 1997, PNG menyewa
sebuah perusahaan tentara bayaran yang berbasis di London yang disebut Sandline
International dalam upaya untuk menghapus kepemimpinan pemberontak Bougainville
dengan biaya empat puluh enam juta dolar (The Coconut Revolution, 1999). Sandline
International adalah perusahaan swasta ("pribadi") yang didirikan
pada awal 1990-an. Merasa dipermalukan Pemerintah PNG karena menyewa tentara
bayaran dengan bayaran yang sangat tinggi, sementara mereka sendiri dibayar
kurang dari itu, PNGDF justeru menangkap para tentara bayaran dan mengusir
mereka, sehingga secara tidak langsung membantu BVA (The Coconut Revolution,
1999).
Peta lokasi Pulau Bougainville |
Pada 2001, Dicapai kesepakatan antara PNG dan Bougainville
yang memberikan hak pulau tersebut referendum kemerdekaan ("History of
Bougainville", 2004). Pada 25 Juli 2005, pemimpin insurjensi BVA, Francis
Ona, meninggal karena malaria (The World Today, 2005). Bougainville saat ini
terdaftar sebagai "daerah otonom". ("Daerah Otonomi
Bougainville", 2008). Tetapi masih jauh dari kemerdekaan sejati. Baru-baru
ini, ada issu tentang pembukaan kembali tambang oleh BCL, yang mengklaim,
"Daerah Otonom siap untuk pembangunan ekonomi" ("Tentang
Perusahaan BCL", 2012). Namun, orang-orang Bougainville telah memenuhi
proposal dengan perlawanan yang keras. Sebagai seorang perempuan Bougainvillian, Theonila Roka berkata,
“Dalam banyak hal kita sudah merdeka. Kebanyakan orang kita berdikari,
menumbuhkan makanan mereka sendiri di tanahnya.”(Loewenstein, 2013).
Kegiatan ekstraktif penambangan di pulau Bougainville
membantu wilayah ini mengembangkan model pembangunan berkelanjutan dengan cara
yang tidak terduga. Yaitu, perlawanan penduduk pribumi terhadap tambang Rio
Tinto Zinc dan Papua Nugini, menginspirasi revolusi swakelola. Menariknya, jika
bukan karena kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh Tambang, dan konflik
kekerasan yang dihasilkan, Bougainville mungkin masih bergantung pada bahan
bakar fosil. Sebaliknya, mereka telah mengembangkan sumber energi hijaunya sendiri:
hidro-listrik yang diproduksi menggunakan bahan tambang bekas, dan bahan bakar
untuk kendaraan yang dihasilkan dari kelapa!
Tampaknya dorongan untuk pembukaan kembali pertambangan itu
berasal dari korporasi-korporasi yang mencari laba seperti RTZ dan dari
tuntutan produk dunia pertama. Dalam film dokumenter yang memenangkan berbagai
penghargaan, “The Coconut Revolution”, menggambarkan sebagian besar masyarakat
Bougainville bertelanjang kaki dan mengenakan pakaian compang-camping yang
tentu saja tidak memiliki merek dan logo mencolok di atasnya, tetapi mereka
tampak bahagia. Mungkin negara-negara dunia pertama seperti Amerika Serikat dan
masyarakat dunia dapat belajar tentang keberlanjutan dan berdikari dari
komunitas Bougainville.
Diterjemahkan oleh Edo
Apocalips.
Judul asli: “Bougainville
Coconut Revolution”, March 15, 2014
Sumber dapat diakses
pada: http://i-love-not-man-the-less-but-nature-more.weebly.com/natural-resources/bougainvilles-coconut-revolution-stop-accepting-free-phone-upgrades.
Komentar
Posting Komentar